Bupati Mediasi Polemik Warga dan Perusahaan

id bupati mustafa mediasi pt ggp, lampung tengah

Bupati Mediasi Polemik Warga dan Perusahaan

Bupati Lampung Tengah Mustafa memimpin mediasi polemik antara warga dengan PT. GGP di Kantor Bupati, Rabu (30/11) (FOTO: ANTARA Lampung/Humas Pemkab Lampung Lampung Tengah)

...Di sini pemerintah berperan sebagai mediator. Kami minta kedua pihak bisa bekepala dingin dalam menyelesaikan masalah, jangan sampai polemik ini terus berkelanjutan tanpa ada titik temu, kata Mustafa...
Bandarlampung  (ANTARA Lampung) - Bupati Lampung Tengah Mustafa memediasi polemik antara warga dan PT Great Giant Peneaple (GGP) agar kedua belah pihak fokus pada penyelesaian masalah atau mencari solusi yang bisa menguntungkan keduanya.

"Di sini pemerintah berperan sebagai mediator. Kami minta kedua pihak bisa bekepala dingin dalam menyelesaikan masalah, jangan sampai polemik ini terus berkelanjutan tanpa ada titik temu," kata Mustafa melalui siaran pers yang diterima di Bandarlampung, Rabu.

Bupati memimpin mediasi antara PT. GGP dan warga yang berasal dari tiga kampung dari Lempuyangbandar, Putera Indra Subing, dan Terbanggibesar di kantor bupati setempat.

Muas, perwakilan dari warga menyampaikan lima tuntutan kepada pihak perusahaan. Di antaranya yakni pencabutan HGU PT GGPC U-24, 25, 26 Terbanggibesar, perekrutan tenaga kerja lokal, transparansi dana CSR, pengembalian hak tanah 20 persen, dan pencabutan izin usaha.

"Tuntutan ini kami sampaikan karena banyak sekali perjanjian dan kesepakatan yang tidak dipenuhi pihak perusahaan. Kami minta agar perpanjangan HGU PT. GGP dihentikan, ini adalah harga mati. Masyarakat juga meminta agar 20 persen lahan yang dikelola perusahaan agar dikembalikan," kata Muas.

Pelanggaran lainnya, lanjut dia, yang dilakukan perusahaan yakni pemberdayaan tenaga lokal yang tidak sampai 10 persen dari yang disepakati 40 persen. Akibatnya banyak warga lokal menjadi pengangguran meski ada perusahaan besar. Bahkan dari 1.600 kepala keluarga di Terbanggibesar, hanya ada 20 orang yang terserap menjadi tenaga kerja.

Begitu juga dengan realisasi dana CSR, menurutnya perusahaan tidak pernah memberikan hak masyarakat melalui dana CSR. Terakhir dana CSR digulirkan pada tahun 2000. "Karenanya kami minta agar ada transparansi dana CSR. Digunakan untuk apa dan berapa, karena itu adalah hak publik," tegasnya.

Menanggapi hal ini, Iswanto mewakili PT. GPP mengaku siap menindaklanjuti permohonan-permohonan warga. Terkait HGU dan pengembalian lahan 20 persen, menurutnya harus ada mekanisme yang dijalani dan melibatkan pemerintah pusat.

"Semua ada undang-undang atau peraturan yang harus ditaati. Mohon warga mengkaji ulang mekanisme tersebut. Karena izin dan pengembalian lahan merupakan hak pemerintah pusat," jelas dia.

Sementara mengenai dana CSR, Iswanto menjelaskan, saat ini pengajuan dana CSR hanya bisa dilakukan jika melibatkan pemerintahan kampung, tidak lagi bersifat individu atau kelompok. Mekanisme yang dilakukan yakni mengedepankan tranparansi, dimana warga bersama aparatur kampung mengajukan permohonan dana CSR sesuai dengan kebutuhan.

"Sementara terkait perekrutan tenaga kerja, kami sudah ada datanya. Sekitar 70 persen kami melibatkan tenaga lokal. Namun kedepan akan terus kami evaluasi, jika memang ada oknum-oknum yang bermain, akan ditindaklanjuti," tegas dia.(Ant)