Meminimalkan Konflik Manusia dan Harimau

id harimau, Meminimalkan Konflik manusia dan harimau

Meminimalkan Konflik Manusia dan Harimau

Seekor harimau sumatera sakit dan memasuki perkampungan di Resort Sekincau TNBBS Maret 2015. Namun, lambat penanganan menyebabkan harimau ini akhirnya tidak tertolong. (FOTO: ANTARA/Dok. WCS-IP).

Ancaman kelestarian harimau itu, karena habitat di hutan terus mengikis akibat laju perusakan hutan serta perburuan liar untuk mendapatkan bagian tubuh harimau yang diperjualbelikan......
Bandarlampung (Antara Lampung) - Konflik atau perseteruan antara harimau sumatera liar dengan warga di sekitar hutan masih terus berlangsung. Harimau Sumatra tak hanya mengancam warga, tapi juga memangsa ternak sebagai makanannya.
         
Padahal harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu dari enam subspesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini, dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis terancam punah (critically endagered).
         
Lantas, siapa yang harus diselamatkan: manusia, harimau, atau ternak yang menjadi mangsa harimau itu?
    
Menurut World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia berdasarkan data tahun 2004, jumlah populasi harimau sumatera di alam bebas hanya sekitar 400 ekor saja.
         
"Saat ini populasi harimau sumatera kian menyusut karena berbagai ancaman termasuk adanya perburuan liar," ujar Progam Manager WWF Indonesia Sumbagsel Job Charles pula.
         
Ancaman kelestarian harimau itu, karena habitat di hutan terus mengikis akibat laju perusakan hutan (deforestasi) serta perburuan liar untuk mendapatkan bagian tubuh harimau yang diperjualbelikan dengan harga tinggi di pasar gelap untuk obat-obatan tradisional, perhiasan, jimat dan dekorasi (hiasan).
        
Spesies harimau ini hanya dapat ditemukan di Pulau Sumatera, termasuk di kawasan hutan di Lampung, Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
         
WWF mengingatkan saat ini harimau sumatera berada di ujung kepunahan karena kehilangan habitat secara tak terkendali dan berkurang jumlah spesies mangsa yang menjadi makanannya, serta perburuan liar yang masih terus berlangsung.
         
Laporan tahun 2008 yang dikeluarkan oleh TRAFFIC, program kerja sama WWF dengan lembaga konservasi dunia IUCN untuk monitoring perdagangan satwa liar, menemukan adanya pasar ilegal yang berkembang subur dan menjadi pasar domestik terbuka di Sumatera yang memperjualbelikan bagian tubuh harimau itu.
         
Dalam laporan itu disebutkan paling sedikit 50 ekor harimau sumatera telah diburu setiap tahun dalam kurun waktu 1998-2002. Karena itu, direkomendasikan agar penindakan tegas segera dilakukan untuk menghentikan perburuan dan perdagangan harimau khususnya di Sumatera.
         
WWF Indonesia telah bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia, industri yang mengancam habitat harimau serta masyarakat lokal untuk menyelamatkan harimau sumatera dari kepunahan. Pada 2004, Pemerintah Indonesia mendeklarasikan kawasan penting Tesso Nilo sebagai taman nasional di Provinsi Riau, untuk memastikan masa depan yang aman bagi keberadaan harimau sumatera.
         
Tahun 2010 pada KTT Harimau di St Petersburg di Rusia, Indonesia dan 12 negara lainnya yang melindungi harimau berkomitmen dalam sebuah tujuan konservasi spesies ambisius dan visioner yang pernah dibuat yaitu TX2, untuk menambah kelipatan jumlah harimau sampai pada akhir tahun 2022.
        
 Program Nasional Pemulihan Harimau Indonesia merupakan bagian dari tujuan global dan meliputi enam lansekap prioritas harimau sumatera, yaitu: Ulumasen, Kampar-Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Bukit Balai Rejang Selatan, dan Bukit Barisan Selatan.
         
WWF melakukan terobosan penelitian tentang harimau sumatera di Sumatera Tengah menggunakan perangkap kamera untuk memperkirakan jumlah populasi, habitat dan distribusi untuk mengidentifikasi koridor satwa liar yang membutuhkan perlindungan.
         
WWF juga menurunkan tim patroli antiperburuan dan unit yang bekerja untuk mengurangi konflik manusia dengan harimau di masyarakat lokal.

          Menyerang Warga
Di Lampung, diduga dipicu perambahan kawasan hutan serta perburuan liar itu, dalam setahun saja, harimau sumatera telah menyerang masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di wilayah Provinsi Lampung dan Bengkulu.
         
Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) mencatat, kurun waktu 2008-2015 telah terjadi konflik antara harimau dan manusia sebanyak 113 kali di 23 desa. Akibatnya satu jiwa korban manusia meninggal dunia pada 2008, dua orang meninggal pada 2011, dan seorang lagi pada 2015 lalu.
         
Akibat konflik harimau dengan manusia tersebut sedikitnya seekor harimau mati pada tahun 2008, dan dua ekor pada 2015. Dua ekor harimau berhasil ditangkap dan diselamatkan dalam keadaan hidup saat terjadi konflik. Kurang lebih 292 ekor ternak seperti kambing, sapi, dan kerbau milik masyarakat, telah mati diterkam harimau.
         
Data WCS-IP menyebutkan, frekuensi konflik paling tinggi terjadi di Desa Rajabasa, Sukamaju, Taman Indah, Way Tenumbang (Provinsi Lampung), Mekarjaya, Hargo Binangun, Tanjung Aur (Provinsi Bengkulu), dan Pagaragung (Provinsi Sumatera Selatan).
        
 Melihat tingginya angka insiden konflik antara manusia dan harimau di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, serta upaya penyelamatan satwa langka harimau sumatera, WCS-IP, Balai Besar TNBBS, dan Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) telah mengadakan pelatihan dokter hewan pada 23-25 Agustus 2016 lalu, dan dilaksanakan di dua tempat yaitu Taman Wisata Lembah Hijau Bandarlampung dan Rumah Sakit Gajah Prof Dr Ir Rubini Atmawidjaja, Way Kambas, di Kabupaten Lampung Timur.
         
Pelatihan ini diikuti oleh 17 dokter hewan yang diadakan selama empat hari, dengan materi erat kaitannya dengan penanganan satwa pascakonflik, baik dalam hal teknis maupun kebijakan.
         
Materi yang disampaikan adalah perkembangan kebijakan Permenhut Nomor: P.53 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Permenhut Nomor: P.48 Tahun 2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar, implementasi Permenhut Nomor: 48/2008, prosedur penanganan satwa liar, obat-obatan serta teknik yang digunakan.
        
 Peserta tidak hanya diberikan materi secara teoritis namun juga praktik langsung di RS Hewan/RS Gajah Prof Dr Ir Rubini Atmawidjaja di Way Kambas, Lampung Timur.
         
Country Director WCS-IP Noviar Andayani mengatakan tujuan pelatihan bagi dokter hewan ini untuk mengurangi risiko kematian harimau sumatera akibat konflik dengan manusia, serta menyiapkan dokter yang tanggap darurat jika terjadi konflik.
         
"Kami memerlukan dokter hewan untuk menangani konflik ini, sekaligus proses relokasi harimau yang menjadi korban konflik,¿ kata Noviar.
         
Selain menyelamatkan satwa langka, dia menjelaskan, dokter hewan juga diarahkan memantau kesehatan ternak milik masyarakat sekitar kawasan taman nasional. Tujuannya meningkatkan produktivitas ternak milik masyarakat desa yang rawan konflik.
         
Pelatihan dokter hewan ini, menurut Noviar, merupakan pelaksanaan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor: 48 Tahun 2008 sekaligus sosialisasi dan pemahaman pedoman penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar.
         
Peraturan tersebut diterbitkan untuk mengatasi dan mencari solusi dari konflik yang sering terjadi di wilayah sekitar habitat satwa liar.
         
"Setelah pelatihan diharapkan bisa terbangun jaringan dokter hewan di daerah, serta mendukung pemda setempat menerapkan Permenhut No 48 Tahun 2008," ujarnya lagi.
        
 Menurut dia, penanganan satwa yang terluka dalam konflik manusia-satwa liar sangat penting untuk menjaga kelestarian satwa di TNBBS, terutama harimau sumatera.
        
 TNBBS adalah salah satu bentang alam prioritas yang digunakan untuk pemulihan populasi yang luas wilayahnya mewakili keseluruhan populasi harimau di Sumatera bagian selatan, sehingga peningkatan kapasitas terhadap dokter hewan di sekitar TNBBS secara tidak langsung akan menjaga kelestarian harimau sumatera.
         
Konflik manusia-harimau menjadi permasalahan yang tidak kunjung usai, mengingat luasnya areal konflik, tingginya jumlah insiden, dan keterbatasan sumber daya pemerintah.
         
Ketersediaan tenaga medis satwa liar atau dokter hewan yang mampu memberikan pengobatan terhadap harimau terluka, atau pun melakukan translokasi harimau karena ancaman manusia menjadi program penting yang harus ditangani dengan serius.
        
 Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas Subakir menjelaskan, WCS-IP memfasilitasi kegiatan peningkatan kapasitas dokter hewan agar setelah pelatihan terbentuk jaringan dokter hewan dan rencana kerja sistematis, serta memastikan internalisasi program penanganan konflik manusia-satwa liar ke dalam program pemerintah daerah tingkat kabupaten.
         
Semua upaya itu pada akhirnya diharapkan dapat menekan terjadi konflik manusia dengan satwa liar khususnya harimau sumatera di sekitar kawasan hutan di kawasan Sumatera bagian selatan.
         
Upaya itu juga wujud nyata sebagai aksi global pelestarian harimau sumatera pada habitatnya di kawasan hutan sumatera khususnya, dan pencegahan kepunahan harimau di dunia umumnya.