Hutan Bakau Pulau Pahawang Ditebangi

id Hutan Mangrove Pulau Pahawang Ditebangi, Mangrove Pahawang Ditebangi, Pulau Pahawang, mangrove

Hutan Bakau Pulau Pahawang Ditebangi

Hutan mangrove (bakau) Pulau Pahawang yang telah ditebangi. (FOTO: ANTARA Lampung/Ist)

Pulau Pahawang menjadi salah satu objek wisata alam bahari unggulan Provinsi Lampung yang banyak dikunjungi wisatawan nusantara dan mancanegara, terutama untuk aktivitas berenang di pantai, menyelam, snorkeling....
Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Hutan mangrove (bakau) di Pulau Pahawang, salah satu destinasi wisata bahari unggulan yang banyak dikunjungi wisatawan di Lampung, telah ditebangi. Kenapa pohon bakau itu bisa dibiarkan ditebangi?

Warga Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung memprotes penebangan pohon bakau (hutan mangrove) yang terjadi di Dusun Lima Pahawang, Suak Parak.

Menurut Supriyanto, Manager Advokasi dan Kebijakan LSM Mitra Bentala, di Bandarlampung, Selasa (15/3), berdasarkan hasil investigasi dan pantauan langsung Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) Desa Pulau Pahawang, di lokasi tersebut telah terjadi penebangan hutan bakau seluas 100 meter persegi termasuk wilayah area yang sudah dikonservasi oleh BPDPM dan wilayah belajar Anak Peduli Lingkungan SDN Pulau Pahawang.

Pada lokasi itu saat ini sudah terbabat habis dari yang direncanakan akan dikonversi yaitu seluas 900 meter persegi atau kurang lebih 1 ha.

Penebangan pohon bakau tersebut dilakukan pada 9-11 Maret 2016, dan ditengarai penebangan pohon bakau tersebut dilakukan atas perintah Sp (oknum anggota DPRD Kabupaten Pesawaran).

Menurut informasi masyarakat setempat, oknum wakil rakyat itu telah membeli wilayah daratan yang berbatasan dengan pantai bermangrove tersebut dan direncanakan dijadikan sebagai lokasi pariwisata.

Supriyanto mengingatkan ketentuan hak kepemilikan lahan yang dimiliki oleh perorangan di wilayah yang berbatasan dengan laut bukanlah pada wilayah pantainya.

Pengertian wilayah pantai menurut UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dengan perubahan sebagiannya ada dalam UU No 1 Tahun 2014 yaitu meliputi area pasang surut-pantai dan laut.

Area tersebut merupakan ruang publik yang dimiliki oleh negara, artinya tidak diperbolehkan siapa pun untuk dapat memiliki atau bahkan mengubah fungsi atau melakukan perusakan terhadap lingkungan di sekitarnya.

Apabila ada pihak-pihak yang melakukan hal tersebut maka sudah dapat dipastikan telah melakukan pelanggaran pidana.

Dia mengemukakan ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang, dan ekosistem pendukung lainnya, melalui Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup diamanatkan untuk wajib dilindungi.

Kemudian pada UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga menempatkan hutan bakau sebagai Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terutama pada pasal 1 (4) yang menyatakan, "Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sehingga apabila ada yang melakukan aksi penebangan dan perusakan hutan bakau/mangrove di pesisir merupakan pelanggaran pidana, dan ancaman pidana untuk pelaku perusakan.

Ia menyebutkan, ketentuan itu tercantum pada pasal 73 ayat (1) huruf b yakni menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove, melakukan konversi ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.

Undang-undang yang mengatur mengenai pelestarian dan perlindungan hutan bakau/mangrove, yaitu:

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataaan Ruang, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dia menjelaskan, pengelolaan hutan mangrove dalam perspektif sosial masyarakat pesisir Desa Pulau Pahawang melalui BPDPM juga telah dibuat kebijakan lokalnya melalui Peraturan Desa Pulau Pahawang yang meliputi Program P4R (perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, pengendalian, dan rehabilitasi).

Karena itu, Mitra Bentala selaku lembaga lingkungan hidup yang konsen terhadap pelestarian pesisir laut dan pulau-pulau kecil bersama BPDPM Desa Pulau Pahawang, menyatakan bahwa penebangan kawasan hutan mangrove Desa Pulau Pahawang yang disinyalir dilakukan oleh oknum anggota DPRD Pesawaran sangat bertentangan dengan kaidah konservasi dan konsep pengembangan ekowisata berbasis lingkungan di Desa Pulau Pahawang dan konsep pariwisata Kabupaten Pesawaran.

Mereka meminta kepada pemerintah dan pihak terkait untuk melakukan penghentian penebangan pohon bakau itu saat ini juga dengan tanpa alasan apa pun, dan meminta kepada pihak yang telah melakukan penebangan hutan bakau itu untuk melakukan rehabilitasi kembali wilayah hutan mangrove yang telah dirusak.

"Kami mendorong kepada pihak berwajib untuk mengusut tuntas terhadap segala pelanggaran pidana, atas pelanggaran UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil," ujar dia pula.

DPRD Pesawaran juga diminta untuk dapat memberikan tindakan/sanksi tegas terhadap oknum anggota DPRD yang merusak citra lembaga legislatif.

LSM Mitra Bentala dan BPDPM Desa Pulau Pahawang juga mengirimkan surat kepada Gubernur Lampung ditembuskan kepada Bupati Pesawaran, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Lampung, DKP Kabupaten Pesawaran, BPLHD Lampung, BLH Pesawaran, Dinas Kehutanan Lampung, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pesawaran, DPRD Provinsi Lampung, dan DPRD Pesawaran untuk dapat segera memberikan respons cepat terhadap kasus ini.

Kawasan Pulau Pahawang saat ini menjadi salah satu objek wisata alam bahari unggulan Provinsi Lampung yang banyak dikunjungi wisatawan nusantara dan mancanegara, terutama untuk aktivitas berenang di pantai, menyelam, snorkeling, dan contoh rehabilitasi serta pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat.